Penerapan Tenaga Surya Jawa Tengah
Penerapan Tenaga Surya Jawa Tengah – Sawah Gunungkidul memang tidak biasa. Pada musim kemarau umumnya lahan mengalami kekeringan hingga retak, namun tidak di Desa Ngawu, Kapanewon Playen. Sawah Kelompok Pertanian Lestari Bulak Sawah basah, tidak kering, apalagi retak.
Penerapan Tenaga Surya Jawa Tengah
energiasolaraldia – Saat ribuan sawah di Gunungkidul tidak digarap oleh petani, Kelompok Tani Berkelanjutan Bulak Sawah justru sibuk menanamnya. Mereka menanam tanaman sampingan dan sayuran seperti terong dan cabai.
Keajaiban yang diraih Kelompok Tani Lestari Bulak Sawah di tengah kekeringan di Gunungkidul adalah pembangkit listrik tenaga surya. Sistem ini mampu memompa air hingga kedalaman 50-100di bawah tanah, yang diubah menjadi listrik melalui panel surya. Panel berukuran sekitar tigapersegi ini terletak di tengah sawah seluas lima hektar. Dua kotak aluminium dipasang di sekeliling pelat.
Kotak pertama berisi inverter yang mengubah daya satu arah dari panel surya menjadi daya AC untuk menggerakkan pompa air. Kotak kedua berisi berbagai sakelar dan pelindung pengaturan.
Selain panel surya dan dua peti, terdapat bangunan kayu yang bentuknya mirip Cakruk. Bangunan tersebut berfungsi sebagai tempat para petani Bulak Sawah beristirahat. Di dalam gedung terdapat pos waktu yang mengelola PLTS.
Pengurus Kelompok Tani Lestari Bulak Sawah, Sumardi menjelaskan bahwa panel surya mempunyaisebesar 5.000 watt.
“Kapasitasnya tidak penuh, hanya sekitar 3.000 watt. Menurunnya pasokan listrik dari panel surya disebabkan oleh sinar matahari yang tidak terlalu terik. Apalagi periode terpanas hanya berlangsung 6-7 jam,” ujarnya, Sabtu (8/5/2023).
PLTS pertanian di Desa Ngawu, lanjut Sumardi, akan beroperasi pada awal tahun 2022.
“Dulu kami hanya bergantung pada air hujan.” Saat cuaca kering, saya bekerja di Yogja. Sekarang saya bertani setahun penuh, alhamdulillah hasilnya,” ujarnya bangga.
Sebelum PLTS digunakan untuk pertanian, lanjut Sumardi, Grup Tani Lestari Bulak Sumur berencana untuk mengkonsumsi listrik di PLN.
“Tapi biayanya mahal, ada biaya pemasangannya, apalagi kalau di tengah sawah. Suatu ketika mereka mengenakan biaya sebesar Rs 20.000 hanya untuk mengambil air dari sumur setiap hari,” jelasnya.
Mahalnya biaya menjadi alasan memilih PLTS.
“Dan kebetulan kami mendapatkan subsidi panel surya dari salah satu kampus swasta di Yogjakarta.” jelasnya.
Meski mendapat subsidi, ada biaya mandiri lainnya, seperti pembelian inverter, baterai, dan sambungan pipa. Saat ini, setiap orang mengeluarkan Rp 2 juta untuk usaha patungan tersebut.
“Sebelum beralih menggunakan PLTS, petani disini memanfaatkan solar untuk mengambil air dari sumur.
Namun hanya dapat menggunakan 20.000 rupe per harinya. ”
Dengan PLTS, biaya yang dikeluarkan petani untuk mengairi sawah hanya Rp 30.000 per bulan. “Biaya ini dibayarkan kepada kelompok secara rutin untuk pemeliharaan dan penghematan “Bila Anda ganti baterai, ada uang,” ujarnya.
Penghematan biaya penggunaan energi terbarukan juga dirasakan warga Kedungrong, Desa Purwoharjo, Kapanewon Samigaluh dan Kulonprogo, khususnya Kelompok Pengelola Mikro Hidro Pembangkit Listrik Tenaga Listrik (PLTMH).
“Hampir semua masyarakat Padukuhan Kedungrung menggunakan aliran PLTMH ini.” ujarnya.
PLTMH Kedungrong, jelasnya, pertama kali diluncurkan pada tahun 2011. Saat itu ada mahasiswa KKN, mereka membangun PLTMH, tapi kapasitasnya kecil. Selain itu, warga juga berinisiatif untuk meningkatkan kapasitasnya.
“Kami juga usulkan ke DPRD Kulon Progo, kemudian disambungkan ke Dinas Pekerjaan Umum dan kami mendapat hibah untuk dinamo tanpa pemasangan. Kemudian pemasangannya kami lakukan secara mandiri, bahkan di rumah-rumah penduduk. Kami mengenakan biaya Rp 500.000 per orang.”
UGM sedang menjajaki inisiatif warga dan swadaya agar perangkat dapat disediakan.
“Kami sudah dilengkapi dengan tambahan inverter, safety switch dan perlengkapan lainnya.” Salah satu anggota “Tim kami sudah dikirim ke Bandung selama seminggu untuk pelatihan pengoperasian PLTMH,” jelasnya.
Sejak saat itu, pengembangan PLTMH semakin maju dan tidak hanya dimanfaatkan untuk keluarga, namun juga perusahaan. “Di desa kami ada yang tukang las, ada juga tukang kayu dan lain-lain yang kini mendapat aliran listrik melalui PLTMH ini,” kata Suhadi.
Tim manajemen PLTMH Kedungrong mengadakan pertemuan rutin bulanan mengenai kontribusi, periode mogok kerja dan rencana lainnya. Iuran bulanan untuk anggota PLTMH sebesar Rp 20.000.
“Tarif ini lebih rendah dibandingkan tarif berlangganan listrik. Dari yang biasanya perbulannya sekitar Rp250.000, sekarang hanya Rp100,” ujarnya.
Tantangan yang masih dihadapi oleh kelompok pengelola PLTMH Kedungrong adalah pembangkit listrik yang belum stabil sehingga jarang digunakan untuk perangkat elektronik.
“Inverter perlu ditambah. Jadi, saat mengisi daya TV, radio, dan ponsel disarankan menggunakan arus PLN yang stabil agar tidak cepat rusak, jelasnya.
Kelompok Pengelola Wisata Bukit Tinatar, Desa Srimulya, Kapanewon Piyungan, Bantul juga merasakan manfaat ekonomi dari energi terbarukan. Wisata Bukit Tinatar yang berlangsung dari sore hingga malam hari ini menggunakan PLTS sebagai penerangannya. Kelap-kelip lampu di Bukit Tinatar menjadi daya tarik wisata.
Presiden Grup Pariwisata Bukit Tinatar Wintarto menjelaskan, objek wisata tersebut sudah menggunakan PLTS sejak dibuka.
“Ini menjadi salah satu daya tarik pengunjung dan pemandangan dari atas.” “Panel surya tersebut dipesan oleh direktur pariwisata sendiri dengan adanya dukungan dari kecamatan.”
Meskipun mereka menerima penghargaan Hibah panel surya, menurutnya, pengelolaannya juga swasembada.
“Kami adalah perusahaan patungan dengan omset awal Rp 50.000 per orang dan jumlah anggota yaitu 40 orang. Kami juga membayar secara rutin setiap bulan untuk operasional yang sedang berjalan. Penggunaan panel surya disarankan karena sinar matahari cukup terik di kawasan ini. Berkat Wisata Bukit Tinatar, warga Jolosutro bisa mendongkrak perekonomiannya,” ujarnya.
Politik Energi Energi Terbarukan
350 Aktivis Indonesia Suriadi Darmoko menilai inkonsistensi kebijakan pemerintah yang menghalangi penggunaan energi terbarukan. yakni batasan 15 persen untuk pemasangan panel surya pada atap surya.
“Salah satu hal aneh lainnya yang menghambat saya adalah lisensinya yang hanya dirilis dua kali dalam setahun, yaitu pada awal dan pertengahan tahun,” jelasnya.
Moko menjelaskan, inkonsistensi pemerintah juga terlihat dari kegagalan pemerintah dalam memutuskan penghentian penggunaan bahan bakar fosil.
“Saat ini BUMN terus membiayai energi fosil, dan yang terbaru adalah pembiayaan PLTU captive Adaro di Kalimantan Utara.” “Pembiayaan energi fosil harus dihentikan dan dialihkan ke energi terbarukan,” ujarnya. dikatakan.
Sebaliknya, pemanfaatan energi terbarukan oleh Masyarakat tidak tercermin dalam Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT).
“Fokus pemerintah tetap pada industri energi fosil. Kita bisa melihat dari pembahasan UU EBT yang cenderung membahas energi fosil dibandingkan energi terbarukan,” jelasnya.
Inkonsistensi dan kurangnya komitmen pemerintah dalam memperkuat energi terbarukan menyebabkan menurunnya minat masyarakat untuk memanfaatkannya, menurut Moko. Padahal, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang memudahkan masyarakat dalam memanfaatkan energi terbarukan, terutama dari sisi pembiayaan yang menjadi kunci utama.
“Banyak warga yang ingin memasang PLTS di atap, sayangnya hal itu tidak mendapat dukungan dana dari pihak perbankan.” Asosiasi Pemasang PLTS Atap Indonesia menyampaikan dalam sebuah diskusi bahwa penghematan biaya akan seimbang untuk biaya pembayaran angsuran. Pinjaman tersebut memerlukan jangka waktu minimal 8 tahun, sedangkan pinjaman yang ada saat ini hanya berjangka waktu 5 tahun. Hal ini mengakibatkan biaya pembiayaan pinjaman menjadi lebih tinggi dibandingkan tabungan,” jelasnya.
Untuk mengatasi permasalahan pembiayaan guna mendukung masyarakat dalam memasang jaringan mini PV, pemerintah harus menemukan skema yang tepat
“Sistem pembiayaan harus disertai dengan langkah-langkah “yang mendukung transisi energi di tingkat nasional,” tutupnya.