Informasi Energi Alam

Info Sumber Energi Alam dan Energi Surya serta Sumber Energi Untuk Keperluan Hidup Manusia

Biodisel Kelapa Sawit Indonesia
Energi Biodiesel

Biodisel Kelapa Sawit Indonesia

Biodisel Kelapa Sawit Indonesia – Biodiesel merupakan campuran minyak nabati dan solar/solar fosil. Ide pengembangan biodiesel di dunia pertama kali dicetuskan oleh Rudolf Diesel pada tahun 1893. Saat itu, Rudolf Diesel bereksperimen dengan berbagai bahan bakar alternatif untuk mesin diesel yang dikembangkannya. Bahan bakar yang diuji berkisar dari minyak diesel fosil, debu batubara hingga minyak nabati.

 

Biodisel Kelapa Sawit Indonesia

Biodisel Kelapa Sawit Indonesia

energiasolaraldia – Penggunaan minyak nabati pada mesin diesel pertama kali diperkenalkan ke publik pada Pameran Dunia Paris tahun 1900. Pada pameran tersebut, Rudolf Diesel menggunakan minyak kacang tanah sebagai bahan bakar mesin diesel. Kesuksesan pameran tersebut membuat pengunjung terkesan sekaligus mendorong Rudolf Diesel melakukan penelitian ekstensif untuk mewujudkan visinya.

Ide pengembangan minyak solar dari minyak nabati harus pupus setelah meninggalnya Rudolf Diesel pada tahun 1913. Selain itu, penelitian biodiesel dipicu oleh ditemukannya proses penyulingan minyak yang menghasilkan solar fosil sebagai bahan bakar. mesin diesel semakin ditinggalkan. Dibandingkan dengan solar fosil, minyak nabati memiliki kelemahan sebagai bahan bakar mesin diesel yaitu tidak dapat langsung digunakan pada mesin dan viskositasnya relatif tinggi sehingga menyulitkan proses pembakaran.

Setelah jeda yang cukup lama, kajian minyak nabati sebagai minyak solar mendapat titik terang ketika ilmuwan Belgia G. Chavanne menemukan teknik transesterifikasi pada tahun 1937. Dengan menggunakan teknik ini, minyak nabati dapat diubah menjadi FAME (Lemak). metil ester asam) sehingga sifat fisik atau molekulnya mirip dengan fosil solar.

Pengembangan biodiesel global menjadi semakin serius pada tahun 1970-an sebagai respons terhadap krisis minyak global. Selain itu, dengan semakin meningkatnya kesadaran terhadap lingkungan, biodiesel mendapat perhatian khusus di masyarakat global sebagai energi yang rendah emisi dan lebih ramah lingkungan. Dan hingga saat ini pengembangan dan penggunaan biodiesel di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia semakin gencar. Sebagai salah satu negara produsen biodiesel, pengembangan biodiesel di Indonesia masih tergolong baru dibandingkan negara lain seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Argentina atau Brazil yang sudah lebih dulu mengembangkan biodiesel. Meski masih dalam tahap awal, industri biodiesel Indonesia sudah mulai berkembang dan menunjukkan perkembangan yang cukup pesat.

Sejarah Perkembangan Biodiesel Kelapa Sawit di Indonesia

Penelitian biodiesel di Indonesia mulai berkembang pada tahun 1990an. Penelitian biodiesel di Indonesia sedang mengeksplorasi berbagai minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel. Minyak nabati yang dimaksud adalah minyak sawit, minyak jelantah, jarak pagar, minyak lilin dan lain-lain. Penelitian pengembangan biodiesel tidak hanya sekedar laboratorium, namun sudah mencapai skala pilot project hingga pengujian mesin.

Salah satu lembaga penelitian yang terlibat dalam pengembangan biodiesel adalah Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Sejak tahun 1992, PPKS sebagai lembaga penelitian industri kelapa sawit telah melakukan penelitian untuk pengembangan bahan baku (raw material) dari kelapa sawit. Biodiesel sawit yang dikembangkan oleh PPKS diuji pada mesin dan kendaraan pertanian pada tahun 2001. Pada tahun 2004, PPKS juga melakukan uji jalan terhadap truk dan mobil perjalanan Medan menuju Jakarta untuk menguji biodiesel dengan persentase campuran FAME sebesar 10 persen (B10).

 

Baca juga : Mengulas Berbagai Keuntungan Menggunakan Energi Alternatif

 

Meskipun pengembangan biodiesel dimulai pada tahun 1990an hingga pertengahan tahun 2000an, belum ada terobosan besar dalam agenda biodiesel Indonesia. Namun, ketika Indonesia menghadapi gejolak di sektor energi, terutama ketika posisinya berubah dari net oil eksportir menjadi net oil importir pada tahun 2004, diikuti dengan kenaikan harga bahan bakar minyak yang signifikan sehingga memicu krisis energi. Pada tahun 2005 menjadi terobosan dalam pengembangan bahan bakar minyak (BBN) Indonesia.

Ketergantungan yang tinggi terhadap impor bahan bakar membuat defisit migas “meningkat”. Kondisi ini mendorong pemerintah Indonesia untuk mengembangkan biofuel, termasuk biodiesel, dengan menggunakan sumber daya lokal. Upaya ini diharapkan menjadi langkah strategis dalam mewujudkan kemandirian energi nasional.

Komitmen ini ditunjukkan dengan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Keputusan Presiden ini segera disusul dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati. Perpres dan Inpres ini menjadi mesin yang mendorong penelitian inovatif untuk mengembangkan biofuel seperti biodiesel dan bioetanol. Bahan baku BBN yang dikembangkan tidak hanya kelapa sawit, namun juga produk pertanian lainnya seperti jarak pagar, singkong, dan tebu.

Pada tahun 2007, pemerintah memperkenalkan pengembangan biodiesel jarak pagar secara besar-besaran. Namun pengembangan biodiesel jarak pagar terpaksa terhenti karena permasalahan komersial di pasar bahan baku. Meski belum memenuhi harapan, komitmen pengembangan biodiesel khususnya di Indonesia masih kuat.

Komitmen pemerintah Indonesia terhadap pengembangan biodiesel kelapa sawit semakin nyata. Mengingat posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, ketersediaannya dengan harga murah relatif tinggi. Karena kelebihan tersebut, penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel dapat meminimalkan bahan bakar pangan atau permasalahan dalam sistem tata niaga komoditas. Hal ini menjadi faktor pendorong pengembangan biodiesel sawit di Indonesia.

Setelah terpenuhinya baku mutu biodiesel (SNI 04-7182) pada tahun 2006, pemanfaatan biodiesel sebagai sumber bahan bakar kendaraan semakin mendapat titik terang di Indonesia. Konversi energi dalam negeri juga didukung oleh penerapan kebijakan mandatori penggunaan biodiesel atau dikenal dengan kebijakan mandatori biodiesel.

Praktik wajib terkait penggunaan biodiesel diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral no. 32/2008 tentang Penyediaan, Penggunaan dan Perdagangan Bahan Bakar Nabati Sebagai Bahan Bakar Lainnya. Dalam aturan tersebut, penggunaan campuran biodiesel direncanakan akan dimasukkan hingga maksimal 20 persen pada tahun 2025 (B-20). Campuran biodiesel ini digunakan di rumah tangga, sektor kewajiban pelayanan publik (PSO) dan non-publik, sektor industri dan komersial, serta pembangkit listrik.

Kebijakan mandatori biodiesel telah diselesaikan dan diperluas kembali, sebagaimana dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 25/2013. Dengan adanya peraturan menteri tersebut, pemerintah menargetkan rasio pencampuran biodiesel sebesar 25 persen (B-25) yang akan tercapai pada tahun 2025. Selain itu, Keputusan Menteri ESDM No. Pada 12/2015, pemerintah kembali menetapkan target blending rate yang lebih tinggi sebesar 30 persen (B-30) untuk tahun 2020-2025.

Implementasi kebijakan mandatori tersebut dilakukan pada tahap B1-B2.5 sejak tahun 2008. Pengembangan biodiesel di Indonesia terus berlanjut hingga mencapai B7,5 pada tahun 2010 dan B10 pada tahun 2014.

Kandungan biodiesel sawit

Bahan-bahan biodiesel sawit adalah sebagai berikut:

  • Fatty acid methyl ester atau asam lemak etil (FAME): merupakan komponen utama bahan bakar biodiesel sawit yang dihasilkan melalui reaksi transesterifikasi antara sawit minyak dan kelapa sawit. metanol atau etanol. FAME memiliki sifat yang mirip dengan solar biasa dan dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif pada mesin diesel tanpa perlu melakukan modifikasi mesin.
  • Gliserin: merupakan produk sampingan dari reaksi transesterifikasi antara minyak sawit dan metanol atau etanol. Gliserol dapat dipisahkan dari FAME dengan sentrifugasi atau filtrasi.
  • Air: terdapat dalam jumlah kecil sebagai produk sampingan dari proses produksi biodiesel minyak sawit.
  • Senyawa kecil seperti fosfat dan logam berat: terdapat dalam jumlah kecil sebagai pengotor dalam minyak sawit mentah (CPO), yang digunakan sebagai bahan baku dalam produksi biodiesel minyak sawit. Senyawa-senyawa tersebut dapat mempengaruhi kualitas biodiesel dan harus dimurnikan sebelum dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif mesin diesel.

 

Baca juga : Ide Mainan DIY Yang Menyenangkan Untuk Anak 

 

Manfaat ekonomi dari biodiesel minyak sawit

Kebijakan wajib biodiesel di Indonesia bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil impor, khususnya solar. Selama 10 tahun terakhir, konsumsi biodiesel telah meningkat secara signifikan, seiring dengan penurunan impor bahan bakar fosil. Penerapan kebijakan mandatori biodiesel dari B-1 hingga B-30 berhasil mengurangi ketergantungan impor solar fosil secara signifikan. Faktanya, impor solar fosil diperkirakan tidak lebih dari 10 persen dari total konsumsi domestik pada tahun 2020. One Jafar dkk. (2010) menunjukkan bahwa pencampuran solar dengan biodiesel dapat meningkatkan ketahanan energi dan mengurangi ketergantungan terhadap impor solar.

Selain mengurangi ketergantungan impor, penggunaan biodiesel juga memberikan dampak positif terhadap aspek perekonomian. Penghematan devisa dari impor solar fosil terus meningkat sejak tahun 2015, mencapai $3,09 miliar pada tahun 2020. Penghematan devisa dari impor solar fosil juga membantu memperbaiki neraca perdagangan migas dan neraca perdagangan secara keseluruhan. Faktanya, penghematan devisa dari impor solar fosil dapat mengurangi defisit neraca minyak dan gas sebesar $2,7 miliar pada tahun 2020.

Selain itu, biodiesel berbasis kelapa sawit menawarkan manfaat ekonomi lainnya. Berdasarkan informasi Kementerian ESDM, pendirian kilang biodiesel akan mendorong penyerapan tenaga kerja dan pembangunan desa. Selain itu, penggunaan biodiesel juga mendukung pengembangan industri kelapa sawit yang merupakan komoditas andalan Indonesia.

Manfaat Sosial Biodiesel Kelapa Sawit

Biodiesel dapat memberikan manfaat sosial berupa penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Menurut Kementerian ESDM (2021), kewajiban penggunaan biodiesel B20 pada tahun 2019 menciptakan lapangan kerja bagi kurang lebih 834,7 ribu orang, sedangkan kewajiban penggunaan biodiesel B30 pada tahun 2020 menciptakan lapangan kerja bagi 1,2 juta orang.

Berdasarkan berbagai penelitian sebelumnya, diketahui bahwa pengembangan biodiesel kelapa sawit dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan (Susila dan Munadi, 2008; Joni et al., 2010; Arndt et al., 2010 ; Peningkatan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan ini tidak hanya terjadi pada industri biodiesel (direct effect), namun juga pada industri bahan baku biodiesel (indirect effect) dan seluruh sektor perekonomian nasional (related effect).